Kapan Matahari Tidak Terik
melalui Pulang — Cerita Tanpa Suara
Hujan turun di ujung malam
Tak terasakan dingin lagi
Karena cahaya bulan perlahan karam
Diselimuti embun menuju pagi
Ingin sekali aku bernyanyi ditengah hujan
Tapi aku takut suaraku di ambil tanah yang basah
Setidaknya aku berterimakasih untuk berkah tanpa bulan
Karena masih bisa merasakan sejuknya beban tanpa gelisah
Terimakasih tuhan untuk hujanMu
Dengan setiap detik alunan rintikkannya membuat semakin semu.
Siapa bilang tengah malam itu suram?
– H.A.W
Hati yang bimbang jangan di logikan kan
Pikiran yang rapuh jangan dibawa hati
Jejak kaki harus tetap ada di jalanan
Jangan berhenti jika hanya 1 mimpi yang mati
Biarkan tawa yang buat warna didalam imaji
Karena jika sukses tanpa proses ada
Itu bukan mimpi yang ada didalam nadi
Sama seperti sebuah raga tanpa nama
Hanya mimpi yang membuat setiap manusia kaya
Sehina apapun, serendah apapun mereka
Karna mimpi-mimpinyalah yang buat mereka semua
Menjadi sebungkus daging yang begitu sempurna
Embun yang turun seperti bernyanyi dengan daun,
Udara yang dingin serasa hanya kedipan mata mereka,
Hujan pun lebih panas dari sinar senja yang terbangun,
Hampir tak layak lagi sebungkus nyawa ini membuka mata.
Dimana bisa kutitipkan setiap mimpiku yang berkarat ini,
Dalam gelap dan pelan-pelan menjadi abu,
Yang udara sendiri tak ingin menyentuhnya di setiap serat ini,
Dan mimpi hanya tinggal harapan yang tidak pernah menjadi masalalu.
Aku ingin mengapung diantara air dan darat,
Agar wujud yang fana ini lebih bisa membedakan dunia nya,
Karna jeritan mereka sudah tak bisa lagi ku pegang erat,
Sama seperti pohon muda tanpa ranting dibatangnya.
Aku siap jika pergi dari tanah yang membuatku berdiri
Dan air yang membuatku tetap hidup dalam kubus yang menyendiri
-H.A
Matahari bangun ditarik awan dan langit
Awal mula yang tumbuh mencari harumnya
Dimana tubuh tidak merasakan lagi sakit
yang siap untuk tidak lari dari terik nantinya
Masih Pagi, Jangan Lupa Berdiri Ketika Jatuh Itu Datang Lagi.
-H.A
bungkusan nyawa didalam kulit
ribuan syaraf tersusun rapi
terkadang jatuh sehat berdiri sakit,
dua puluh jari di sepasang tangan & kaki
pikiran dengan kenyataan jauh
harapan dan mimpi sama dekatnya
kau mengenalkan raga ini rasa piluh
hingga pelangipun susah untuk melihatnya
hancur setengah sel darah yang mengalir
dari jantung menuju hati
air mata yang hanya bisa pergi merasa terusir
dan tak kembal menetes lagi
Selamat istirahat matahari
Semoga kau tak lupa akan pagi
Agar udara pagipun kembali
Untuk menyapaku lagi lewat ujung jemari
GelapMu yang mereka rasa
SepiMu yang mereka buat
Tidak pernah hilang ketika cahaya yang membakar raga
Pamit padaMu saat ingatan tidak lagi kuat
Apa cukup puas bulanMu ditemani ribuan bintang
Apa sedih tidak akan menyelimuti matahari saat pagi
Karena yang aku rasa teman itu tidak akan hilang
Melainkan pergi saat dan pulang saat hujan kembali
Banda Neira
jatuh dan tersungkur di tanah aku
berselimut tubuh, sekujur tubuh ku
panas yang menyengat rebah dan berkarat
yang yang, patah tumbuh, yang hilang berganti
yang hancur lebur akan terobati
yang sia-sia akan jadi makna
yang terus berulang suatu saat nanti
yang pernah jatuh kan berdiri lagi
yang patah tumbuh yang hilang berganti
dimana ada musim yang menunggu
merenggas merapuh berganti dan luluh
bayang yang berserah terang di ujung sana
yang, yang patah tumbuh, yang hilang berganti
yang hancur lebur akan terobati
yang sia-sia akan jadi makna
yang terus berulang suatu saat nanti
yang pernah jatuh kan berdiri lagi
yang patah tumbuh yang hilang berganti
membalut angin dengan angan
dari tiupan daun pohon tua
seperti apa jika ombak itu hilang
apa ributnya pantai akan ada gantinya
siapa yang melukis senja
siapa juga yang berlari saat matahari takut
apa semurah itu harga dari warna jingga
bisa kau bercerita lagi saat malam saat jangkrik menjerit
jangan lupakan warnamu saat sore
jangan sembunyi saat hujan menyentuh sinarmu
ceritakan lagi sewaktu kita mendengar jangkrik menjerit
aku suka temanku memujimu dengan semua kesederhanaanMu
yang terasa istimewa diwaktu sore
untuk kami
Udara dari hijau lembab
Tubuh dan darahku diam tanpa sebab
Aku takut akan kau dimakan gelap
saat aku membuka jari, tangan serta kaki yang genap
Tinggiku berada disana
Dimana aku lebih mudah terpana
Dengan warna-warna jingga
saat matahariMu menutup matanya
berdiriku di antara asapku
sebari menunggu saat kalian terlihat lucu
Sampai dengan kita lupa akan gelar
Dan membuat raga pergi menahan waktu saat fajar.
terimakasih lucuku
tidakkah kita senang berdiri diatas sana
tanpa adanya dua mata,
kalau indahmu itu ketika aku bersama alamMu menikmati senja.